Senin, 20 Juni 2011

CPOD (Chronic Obstructive Pulmonary Disease)/Paru Obstruktif Kronik

1. Pengertian

Menurut “The National Heart, Lung, and Blood Institute NHLBI dan WHO). COPD sebagai penyakit yang ditandai oleh keterbatasan jalan udara yang progresif yang tidak sepenuhnya dapat pulih kembali. Keterbatasan jalan udara biasanya dapat progresif dan terasosiasi dengan respon inflamasi abnormal paru-paru terhadap partikel asing atau gas. Kondisi paling umum yang menyebabkan COPD adalah bronchitis kronik dan emfisema.

Bronkitis Kronik berhubungan dengan sekresi berlebih mokus kronis atau berulang ke dalam cabang bronkus dengan batuk yang terjadi hampir setiap hari selama paling tidak 3 bulan dalam setahun, dan ini berlangsung paling tidak dalam 2 tahun berturut-turut bila penyebab batuk yang lain telah dikeluarkan.

Emfisema didefinisikan sebagai pembesaran permanan yang abnormal dari ruang udara pada posisi distal terhadap bronkhiol terminal, disertai dengan kerusakan dindingnya, tapi tanpa fibrosis yang jelas.

Penyakit paru obstruktif kronik (COPD) merupakan suatu istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya. Bronchitis kronik, emfisema paru, dan asma bronkial membentuk kesatuan yang disebut COPD. agaknya ada hubungan etiologik dan sekuesial antara bronkitis kronik dan emfisema. Bronchitis kronik merupakan suatu gangguan klinis yang ditandai oleh pembentukan mukus yang berlebihan dalam bronkus dan bermanisfestasi sebagai batuk kronik dan pembentukan sputum selama sedikitnya 3 bulan dalam setahun, sekurang kurangnya dalam dua tahun berturut turut. sputum yang terbentuk pada bronkitis kronik dapat mukoid atau mukopurule. Emfisema paru merupakan suatu perubahan anatomis parenkim paru yang ditandai oleh pembesaran alveolus dan duktus alveolaris yang tidak normal,serta destruksi dinding alveolar. emfisema dapat didiagnosis secara tepat dengan menggunakan CT SCAN resolusi tinggi.
Faktor etiologi utama adalah merokok dan polusi udara yang lazim terjadi di daerah industri. Polusi udara yang terus menerus juga merupakan predisposisi infeksi rekuren karena polusi memperlambat aktivitas silia dan fagositosis, sehingga timbunan mukus meningkat sedangkan mekanisme pertahanannya sendiri melemah.

Emfisema dibagi menurut bentuk asinus yang terserang.ada dua bentuk yang paling penting sehubungan dengan COPD. Emfisema sentrilobular (CLE), secara selektif hanya menyerang bagian bronkiolus respiratorius dan duktus alveolaris.CLE seringkali lebih berat menyerang bagian atas paru, tetapi akhirnya cenderung tersebar tidak merata.CLE lebih banyak ditemukan pada pria dibandingkan wanita, biasanya berhubungan dengan bronkitis kronik, dan jarang ditemukan pada mereka yang tidak merokok.

Ä Emfisema panlobular (PLE) atau Emfisema panasinar, merupakan bentuk morfologik yang lebih jarang, alveolus yang terletak distal dari bronkiolus terminalis mengalami pembesaran serta kerusakan secara merata, mengenai bagian asinus yang sentral mauppun yang perifer.jenis emfisema ini ditandai dengan peningkatan resistensi jalan napas yang berlangsung lambat tanpa adanya bronkitis kronik.

2. Epidemiologi

Menurut Robert L. Wilkins dan James B. Dexter dalam buku Respiratory Diseases: Principles of Patient Care, bronkitis kronis adalah salah satu penyakit paru dimana pasien memiliki batuk produktif kronik yang berhubungan dengan inflamasi bronchus. Untuk membuat diagnosis, para ahli menyatakan bahwa jangka waktu kronik pada penyakit ini adalah selama batuk produktif muncul, minimal selama tiga bulan setahun dan pada dua tahun berturut-turut. Sebelum diketahui menderita Bronkitis kronis, pada awalnya pasien yang mengalami batuk produktif yang panjang biasanya terdiagnosis oleh dokter mengalami tuberculosis, kanker paru, dan congestive heart failure.

Bronkitis kronik sering disamakan dengan emfisema, padahal keduanya berbeda. Kedua penyakit ini sering ditemukan pada penderita Penyakit Paru Obstruktif Menahun (PPOM). PPOM merupakan penyebab kematian keempat di Amerika Serikat. Diperkirakan 12 juta orang Amerika menderita bronkitis kronik dan atau emfisema (National Heart, Lung, and Blood Institute, 1986). Sedangkan American Thoracic Society dalam buku Standards for

the diagnosis and care of patients with chronic obstructive pulmonary disease tahun 1995,

sekitar 10 juta orang Amerika menderita PPOM, dan menyebabkan 40.000 kematian setiap tahun. Sedangkan Tjandra Yoga Aditama dosen FK UI, dalam Cermin Dunia Kedokteran No. 84 tahun 1993 menyatakan bahwa di Indonesia penyakit asma, bronkitis dan emfisema merupakan penyebab kematian ke 10. Bronkitis, asma dan penyakit saluran napas lain menduduki peringkat ke lima dalam pola morbiditas di negara kita. PPOM menyerang pria dua kali lebih banyak daripada wanita, diperkirakan karena pria merupakan perokok yang lebih berat dibandingkan wanita, tetapi insidensnya pada wanita semakin meningkat dan stabil pada pria (Price, 1992). Untuk Bronkitis kronis, jumlah orang dewasa yang terdiagnosa kronik Bronkitis pada tahun 2007 di Amerika Serikat adalah 7,6 juta orang.

Dampak yang timbul akibat menderita penyakit bronkitis kronis adalah infeksi saluran napas yang berat dan sering, penyempitan dan penyumbatan bronchus, sulit bernafas, disability, hingga kematian. Kebiasaan merokok merupakan faktor penting yang berkontribusi menyebabkan bronkitis kronik menurut American Academy of Family

3. Patofisiologi

Etiologi yang paling umum adalah paparan terhadap asap rokok di lingkungan, tapi paparan kronik lain dapat pula menyebabkan COPD. Menghirup partikel asing dan gas menstimulasi aktivitas neutrofil, makrofag, dan limfosit CD8+, yang membebaskan sejumlah mediator kimia, termasuk tumor nekrosis factor (TNF) alfa interleukin-8 (IL-8), dan leukotrien B4 (LTB4). Sel inflamasi dan mediator ini menyebabkan perubahan destruktif meluas pada jalan udara, pembuluh pulmonary, dan parenkim paru-paru.

Proses patofisologik lainnya termasuk sters oksidatif dan ketikseimbangan antara system pertahanan agresif protektif di paru-paru.(protease dan antiprotease). Peningkatan oksidator dari asap rokok bereaksi dengan dan merusak berbagai protein dan lipid, yang menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Oksidator juga memudahkan inflamasi secara langsung dan memperparah ketidakseimbangan protease-antiprotease dengan menginhibisi aktivitas antiprotease.

Antiprotease protektif alfa 1-antiaspirin (AAT) menghambat sejumlah enzim protease,termasuk elastase neutrofil. Dengan adanya aktivitas AAT yang tidak berantagonis, elastase menyerang elastin, yang merupakan komponen utama dari dinding alveolu. Defesiensi turunan AAT menyebabkan peningkatan resiko perkembangan emfisema premature. Pada penyakit yang diturunkan terhadap suatu difisiensi AAT absolute. Pada emfisema yang disebabkan oleh merokok, ketidakseimbangan ini berhubungan peningkatan aktivitas protease atau pengurangan aktivitas antiprotease. Sel inflamasi yang teraktivasi membebaskan protease yang lain termasuk katepsin dan metalloproteinase (MMP). Selain itu, stress oksidatif juga mengurangi aktivitas antiprotease.

Suatu eksudat inflamasi sering ditemui pada jalan udara yang menyebabkan suatu peningkatan jumlah dan ukuran sel goblet dan kelenjar mucus. Sekresi mucus meningkat, dan motilitas siliar mengalami kerusakan. Terdapat penebalan otot polos dan jaringan ikat pada jalan udara. Inflamasi kronik menyebabkan pembentukkan parut dan fibrosis. Penyempitan jalan udara yang meluas terjadi dan lebih parah pada jalan udara peripheral yang berukuran kecil.

Perubahan parenkimal mempengaruhi unit penukaran gas paru-paru (alveoli dan kapiler pulmonar). Penyakit yang berkaitan dengan merokok paling umum menyebabkan emfisema sentrilobar yang terutama mempengaruhi bronkiol respirasi. Emfisema pan-lobular dijumpai pada defisiensi AAT dan meluas sampai ke duktus dan kantong alveolus.

Perubahan vascular termasuk penebalan pembuluh pulmonary yang dapat menyebabkan disfungsi endotel arteri pulmonary. Selanjutnya, perubahan structural meningkatkan tekanan pulmonary, terutama selama latihan fisik. Pada COPD parah, hipertensi pulmonary sekunder menyebabkan gagal jantung sebelah kanan (cor pulmonale).

4. Manifestasi klinik

Gejala awal COPD termasuk batuk kronik dan produksi sputum; pasien dapat mengalami gejala ini selama beberapa tahun sebelum berkembangnya dispena.

Pemeriksaan fisik menunjukan hasil normal pada pasien yg berada pada tahap COPD yg lebih ringan. Bila keterbatasan aliran udara menjadi parah, pasien dapat mengalami sianosis membrane mukosa, “barrel chest” karena pengembangan paru-paru berlebihan, peningkatan laju respirasi istirahat, nafas dangkal, bibir monyong selama ekspirasi, dan penggunaan otot respirasi pelengkap. Pasien dengan COPD yg memburuk dapat mengalami dispena yg lebih parah, peningkatan volume sputum, atau peningkatan kandungan nanah pada sputum.

Tanda umum lain dari CPOD yg memburuk termasuk dada sempit, peningkatan kebutuhan bronkodilator, tidak enak badan, lelah, dan penurunan toleransi latihan fisik.

5. Diagnosis

Diagnosis paru obstruktif kronik :

a. Anamnesis: riwayat medis yang ditandai 3 gejala klinis dan factor-faktor penyebab

b. Pemeriksaan fisik:

· Pasien biasanya tampak kurus dengan barrel- shaped chest (diameter anteroposterior dada meningkat).

· Fremitus taktil dada berkurang atau tidak ada.

· Perkusi dada hipersonor, peranjakan hati mengecil, batas paru hati rendah, pekak jantung berkurang.

· Suara nafas berkurang dengan ekspirasi memanjang

c. Pemeriksaan radiologi:

· Foto toraks pada bronchitis kronik memperlihatkan tubular shadow berupa bayangan garis-garis yang paralel keluar dari hilus menuju apeks paru dan corakan paru yang bertambah.

· Pada emfisema paru, foto toraks menunjukkan adanya overinflasi dengan gambaran diafragma yang rendah dan datar, penciutan pembuluh darah pulmonal, dan penambahan corakan ke distal.

d. Pemeriksaan fungsi paru

e. Pemeriksaan gas darah

f. Pemeriksaan EKG

g. Pemeriksaan laboratorium darah: hitung sel darah putih

6. Terapi

a. Tujuan Terapi

Hasil akhir terapi termasuk penghentian merokok , peningkatan gejala, pengurangan dalam penurunan tingkat FEV, pengurangan angka kejadian memburuk akut , peningkatan kesejahteraan fisik dan psikologis dan pengurangan tingkat kematian , perawatan di rumah sakit dan hari tidak masuk kerja.

b. Pendekatan Umum

- Terapi Farmakologi

Bronkodilator digunakan untuk mengontrol gejala, tidak ada golongan farmakologi yang terbukti memberikan keuntungan lebih dibanding yang lain, meskipun terapi inhalasilebih di sukai. Pemilihan pengobatan didasarkan pada kepatuhan pasien , respons individu, dan efek samping. Pengobatan dapat dilakukan sesuai kebutuhan atau didasarkan pada jadwal, dan terapi tambahan sebaiknya ditambahkan pada tahapan tergantung respond an keparahan penyakit. Keuntungan klinis bronkodilator termasuk peningkatan kapasitas latihan fisik,penurunan terperangkapnya udara dan peredaran gejala seperti dispnea. Namun peningkatan berarti pada penentuanfungasi paru-paru seperti FEV, mungkin tidak terlihat.

Ø Simpatomimetik

· Simpatomimetik selektif B2 menyebabkan relaksasi otot polos bronchial dan bronkodilatasi dengan menstimulasi enzim adenil siklase untuk meningkatkan pembentukan adenosine monofosfat siklik (cAMP). Simpatomimetik juga dapat meningkatkan klirens mukosiliar.

· Pemberian melalui metered-dose-inhaler (MDI) atau dry-powder-inhaler (DPI) setidaknya selektif terapi nebulisasi dan biasanya lebih di sukai karena alasan biaya dan kenyamanan.

· Albuterol, levalbuterol,bitolterol, pirbuterol,dan terbutalin merupakan agen aksi pendek yang lebih di sukai karena mempunyai selektifitas B2 lebih besar dan durasi aksi lebih panjang dibandingkan agen aksi pendek lainnya (isoproterenol, metaproterenol, dan isoetarin). Rute inhalasi lebih di minati dibandingkan rute oral dan perenteral dalam hal efikasi dan efek samping.Agen aksi pendek dapat digunakan untuk meredakan gejala secara akut atau berdasarkan jadwal untuk mencegah atau meredakan gejala. Dursi aksi agonis B2 aksi pendek adalah 4 hingga 6 jam.

· Formoterol dan salmeterolmerupakan agonis B2 inhalasi aksi panjang yang diberikan setiap 12 jam berdasarkan jadwal dan menghasilkan bronkodilatasi selama interval dosis.Penggunaan agen ini sebaiknya dipertimbangkan untuk pasien yang memperlihatkan kebutuhan yang sering akan agen aksi pendek. Tidak satupun obat yang diindikasikan peredaran gejala secara akut.

Ø Antikolinergik

· Ketika diberikan secara inhalasi agen antikolinergik memproduksi bronkodilatasi dengan menginhibisi reseptor kolinergik secara kompetitif pada otot polos bronchial. Aktifitas ini memblok asetilkolin, yang efek selanjutnya adalah pengurangan guanosin monofosfat siklik (cGMP), yang umumnya mengkonstriksi otot polos bronchial.

· Ipratropium bromide memiliki onset yang lebih lambat dibandingkan agonis B2 aksi pendek (15 hingga 20 menit vs 5 menit untuk albuterol). Karena alasan ini, zat tersebut kurang sesuai untuk penggunaan ketika dibutuhkan, tetapi sering di resepkan untuk keadaan ini. Ipratropium memiliki efek bronkodilator yang lebih panjang disbanding agonis B2 aksi pendek. Efek puncaknya muncul pada 1,5 hingga 2 jam dan durasinya adalah 4 hingga 6 jam. Dosis yang direkomendasikan menggunakan MDI adalah 2 hirup empat kali sehari dengan peningkatan bertahap yang sering hingga 24 hirup/hari. Zat ini jg tersedia dalam bentuk larutan untuk nebulisasi. Keluhan dari pasien yang paling sering adalah mulut kering, mual, dan kadang rasa seperti logam. Karena antikolinergik tidak di serap baik secara sistemik, efek sampingnya jarang terlihat (pandangan kabur, retensi urinary, mual dan takikardia).

· Tiotropium bromida merupakan agen aksi panjang yang memberikan perlindungan terhadap bronkokonstriksi kolinergik selama lebih dari 24 jam. Onset terjadi dalam 30 menit dan efek puncak tercapai dalam 3 jam. Zat ini di berikan menggunakan HandiHaler, suatu alat nafas beraktuator untuk sekali isi serbuk-kering. Dosis yang di rekomendasikan adalah inhalasi isi satu kapsul satu kali sehari menggunakan alat inhalasi HandiHaler. Karena efeknya yang local, tiotropium di toleransi dengan baik. Efek antikolinergik lain juga telah di laporkan.

- Non Farmakologi

Physian, lebih dari 90 persen pasien bronkitis kronis memiliki riwayat pernah menjadi perokok. Tetapi terdapat faktor lain yang sedikit kontribusinya menyebabkan bronkitis kronik yaitu infeksi virus atau bakteri, polusi udara (ozon dan nitrogen dioksida/NO2), terpajan iritan di tempat kerja, dan lain-lain. Iritan-iritan yang dapat menyebabkan penyakit ini diantaranya uap logam (fume) dari bahan-bahan kimia seperti sulfur dioksida (SO2), hidrogen sulfida (H2S), bromin (Br), amonia (NH3), asam kuat, beberapa organic solvent, dan klorin (Cl). Debu juga dapat menyebabkan bronkitis kronis, seperti debu batu bara atau debu pertanian.


by Niswah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar